Religious Myspace Comments
topbella

Jumat, 08 Oktober 2010

BUMI MENANGIS, BAIK ATAU BURUK?

DISUSUN OLEH : Anna Wahyu Rohmanah (MA Mazro'atul Huda Wonorenggo)
    Tangis atau menangis sering digunakan untuk mengungkapkan perasaan sedih, kecewa, menyesal dan sebagainya dengan mencucurkan air mata dan mengeluarkan suara terisak-isak, menjerit-jerit dan sebagainya. Namun ada juga orang menangis, tapi tangisannya merupakan tangisan bahagia. Misal, ada seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu dan ia sudah berusaha untuknya, dan alhasil impiannya tersebut tercapai kemudian ia menangis. Maka tangisannya seorang tadi bisa disebuit sebagai tangisan bahagia.
    Menangis, yang dalam bahasa arab berarti bakā merupakan bentuk kata kerja masa lampau; bakā - yabkī – bukā’an atau bukan. Kata bakā juga disebutkan dalam Al-Qur’an namun hanya satu kali saja, yaitu:
“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh.” (QS. Ad-Dhukān : 29).
    Orang Arab menganggap, bila ada seseorang yang dimuliakan oleh Allah SWT dan ia meninggal atau terkena musibah, maka langit dan bumi akan menangisinya.
    Mujahid berkata, “Sesungguhnya langit dan bumi itu menangis kepada orang-orang muslimin sebanyak empat puluh kali setiap paginya.” 
Abu Yahya berkata, “Bumi tidak akan pernah menangis jika masih banyak hamba yang rukū’ dan sujūd, dan langit juga tidak akan menangis jika masih banyak hamba yang bertasbih dan takbir kepada-Nya.” 
Ali dan Ibn Abbas berkata, “Bumi akan menangis jika masih ada yang menengadahkan wajahnya kelangit (berdo’a, meminta) kepada-Nya.”
Dan Sa’id Ibn Jubair berkata, “Menangisnya langit dan bumi dapat dilihat dari 3 sudut pandang, salah satunya sebagaimana yang dapat dilihat pada tangisan hewan.”
    Muhammad Ibn ‘Ali at-Tirmizi berkata, “Tangisan itu berarti melimpahnya sesuatu.”  Jika ada air yang melimpah dari mata, berarti ia menangis dan jika langit itu penuh dengan warna merah, juga dikatakan menangis, serta jika bumi dipenuhi dengan debu, juga diartikan bahwa bumi ini  menangis. Hal ini karena orang-orang mukmin itu merupakan cahaya dan dia selalu dilindungi dengan cahaya Allah, maka bumi terang oleh cahaya-Nya yang diberikan kepada orang-orang mukmin agar tetap terhindar dari berbagai bentuk kesalahan dan syirik.
    Ibnu Kaśī, memberikan penafsiran terhadap ayat diatas, bahwa langit dan bumi ini akan menangis jika manusia tidak mau melaksanakan perbuatan-perbuatan yang ma’ruf selama di dunia dan juga tidak mau bermunajāh kepada Allah SWT, serta apabila manusia berbicara tidak mau membicarakan hal-hal yang baik sehingga mereka berputus asa, yang menyebabkan mereka menangis. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abdillah bahwa telah datang kepada ‘Ali RA seorang laki-laki, laki-laki itu bertanya, “Apakah langit dan bumi itu pernah menangis kepada seseorang?”  Ali RA menjawab, “Engkau bertanya tentang sesuatu kepadaku  yang sebelumnya aku pun telah menanyakannya kepada seseorang. Bahwa tidak dikatakan seorang hamba sebelum ia melaksanakan shalat dan menggantungkan semua amalannya ke langi (Allah). Sesungguhnya, Fir’aun beserta kerabatnya dan pengikutnya termasuk manusia yang selama di dunia mereka tiodak pernah mengerjakan ma’ruf, serta tidak pernah berserah diri kepada Allah SWT, sehingga walaupun demikian perbuatan mereka selama di dunia ini,  langit dan bumi tidak akan menangisi mereka.”
    Kemudian Ibn Abī Hātim meriwayatkan juga dari ‘Abidul-Maktab dari Ibrahim, ”Sesungguhnya sejak bumi ini diciptakan tidak pernah menangis kecuali dalam dua hal, yaitu: bukankah langit dan bumi itu menangis terhadap seorang hamba yang beriman? Yang demikian itu agar selalu menggantungkan segala amalnya kepada Allah, maka dari sana akan diketahui bahwa langit itu menangis. Lalu aku berkata, jangan kamu katakana merahnya daun seperti minyak, sesungguhnya Yahya bin Zakariya ketika terbunuh langit menjadi merah dan darahpun mengalir, sesungguhnya Husain Ibn ‘Ali ketika terbunuh langit menjadi merah.” 
Dari Yazīd Ibn Abi Ziyād bahwa ketika Husain Ibn ‘Ali terbunuh, horizon menjadi merah selama empat bulan. Yazīd berkata bahwa merahnya itu disebabkan karena tangisannya (langit). Hal yang sama juga dikemukakan as-Sadi dan ‘Atā al-Khurasāni.
    Beberapa penafsiran tentang sūrah ad-Dhukān : 29 di atas telah menguraikan secara jelas maksud dari kata bakā, dimana ahli zikir juga mengatakan bahwa setiap pribadi muslim yang tidak bersuci dalam setiap geraknya, telah menunjukkan menangisnya bumi. Namun pada dasarnya ayat ini lebih banyak berbicara tentang pribadi manusia itu sendiri, bukan dalam permasalahan menangisnya langit dan bumi. Akan tetapi yang harus dicari adalah hal-hal yang menyebabkan bumi dan langit itu diibaratka menangis karena pada hakekatnya langit dan bumi tidak akan pernah menangis. Hal ini dapat kita ketahui dari uraian di atas, bahwa penyebabnya pada dasarnya adalah perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri yang sudah melenceng dari aturan-aturan Allah.
    Marilah kita perduli pada bumi dan langit kita. Bila kita tidak ingin bumi dan langit menangis maka cegahlah dari hal-hal yang bisa membuatnya menangis. Layaknya kita berlaku kepada orang tua kita sendiri, kita pasti selalu ingin agar mereka tidak menangis. Begitulah seharusnya perlakuan kita terhadap bumi. Bumi dan langit kita sudah terlalu tua, jangan sampai kita membuatnya menangis dalam kesedihan, kekecewaan akan perlakuan kita kepadanya. Kita tingkatkan kualitas iman kita, perbanyak melakukan amal saleh, merubah tata cara hidup kita menjadi yang lebih baik. Mencegah diri dari perbuatan maksiat, dan selalu mengamalkan ‘Amar Ma’ruf  Nahi Munkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me