Religious Myspace Comments
topbella

Jumat, 08 Oktober 2010

PESPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG BAYI TABUNG

DISUSUN OLEH : Anna Wahyu Rohmanah (MA Mazro'atul Huda Wonorenggo)


Pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan, seorang pria berpasangan dengan seorang wanita. Sebagaimana Allah SWT telah menciptakan manusia yang pertama kali, yaitu Adam yang berpasangan dengan Hawa. Dengan adanya keduanya, yakni Adam dan Hawa maka lahirlah manusia-manusia sampai sekarang ini.

Dalam hukum Islam, pertemuan atau perpasangan pria dan wanita disahkan lewat pernikahan, yang telah ditetapkan sebagai sunnah Rasulullah SAW. Dalam pernikahan terdapat beragam hikmah, diantaranya adalah memperoleh keturunan / melestarikan keturunan (hifdun nasl), memperoleh keturunan merupakan kebahagiaan yang didamba-dambakan oleh setiap pasangan suami istri.

Beragam cara digunakan untuk memperoleh keturunan, baik dengan jalan berhubungan intim antar suami istri, konsultasi pada dokter kandungan, inseminasi buatan, bahkan sampai pada pembuatam bayi secara test tube baby atau yang lebih popular dikenal dengan bayi tabung. Memang benar tujuan dari pernikahan adalah memperoleh keturunan, namum perlu diketahui bahwa dalam hukum Islam pun terdapat aturan main dalam mendapatkan keturunan. Agar keturunan yang diperoleh sah secara Islami dan mendapatkan keturunan yang shalih dan shalihah, yang mampu mendo’akan kedua orang tuanya sebagai bentuk birrul walidain.

Namun memperoleh keturunan dengan cara bayi tabung merupakan proses produksi bayi atau keturunan dengan menggunakan jalan atau cara yang tidak lazim, yang menggunakan alat bantu selain dari kelamin kedua suami istri. Maka pada kesempatan kali ini hendaknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya bayi tabung tersebut, dan bagaimana pula pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan bayi tabung, agar kita tidak melampaui batas-batas hukum Islam dalam memperoleh keturunan. 

Ada banyak pertanyaan mengenai masalah tersebut, seperti:
1.    Apa pengertian bayi tabung ?
2.    Bagaimana proses pembuatan bayi tabung ?
3.    Bagaimana pandangan Islam terhadap bayi tabung ?

Berikut akan dijelaskan  satu per satu mengenai masalha tersebut.

1.    Pengertian bayi tabung
Bayi tabung merupakan penemuan baru oleh akal manusia dibidang kedokteran, yang sejak lama diusahakan oleh para pakar kandungan untuk menolong para wanita yang sulit hamil. Tets tube baby atau bayi tabung yang di dapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan ilmu kedokteran. 

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.

Dalam kehidupan modern ini, ada kemungkinan seorang istri menghamilkan suatu benih laki-laki bukan melalui jalur biasa, yaitu melalui hubungan kelamin. Tetapi melalui cara suntikan atau operasi, sehingga benih laki-laki itu di tempatkan kedalam rahim istri (wanita) itu sampai ia mengandung. Karena benih laki-laki disedot dari zakar laki-laki itu dan disimpan lebih dulu dalam suatu tabung, maka kehamilan seperti itulah yang dinamakan kehamilan bayi tabung. 

Ahmad Al-Hajj Al-Kurdi mengunggkapkan bawa bayi tabung adalah meletakkan ovum (bibit) perempuan kedalam tabung dan mengawinkannya dengan bibit laki-laki, dan memindahkan kedalam rahim perempuan.
Dari uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa bayi tabung adalah pembuahan yang dilakukan di luar rahim, untuk mempersatukan sperma laki-laki dan ovum (sel telur) perempuan dalam sebua tabung dalam alat medis, kemudian dimasukkan atau ditempatkan dalam rahim perempuan.

2.    Proses pembuatan bayi tabung
Proses atau cara dalam memperoleh keturunan dengan jalan bayi tabung yaitu pembuahan yang dilakukan di luar rahim, perlu disediakan ovum (sel telur) dan sperma. Ovum diambil dari tuba follopii (kandung telur) seorang ibu, dan sperma diambil dari ejakulasi seorang ayah. Sperma tersebut diperiksa terlebih dahulu apakah mengandung benih yang memenuhi persyaratan atau tidak. Begitu juga dengan sel telur dari seorang ibu. Dokter berusaha menentukan dengan tepat saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur), dan memeriksa apakah terdapat sel telur yang masak atau tidak pada saat ovulasi tersebut. Bila pada saat ovulasi terdapat sel-sel yang benar-benar masak, maka sel telur tersebut dihisap dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut. Sel telur itu kemudian ditaruh dalam suatu tabung kimia dan agar sel telur tetap dalam keadaan hidup, sel telur tersebut disimpan di laboratorium yang diberi suhu menyamai panas badan seorang wanita.

Kedua sel kelamin tersebut (sel telur dan sperma) dibiarkan bercampur (zygote) dalam tabung sehingga terjadilah fertilasi. Zygote yang dihasilkan berkembang dalam medium tang terdapat dalam tabung reaksi, sehingga menjadi morulla. Morulla yang terbentuk melalui teknik embrio transfer dinidasikan kerahim seorang ibu yang telah disiapkan, dan akhirnya ibu akan hamil. 

Berdasarkan penelitian ahli kedokteran dapat diketahui beberapa kemungkinan terjadinya pembuahan dalam bayi tabung, yaitu :
a.    Pembuahan di luar tubuh, antara sperma suami dengan ovum istri dan diinplantasikan dalam rahim istri. Dalam hal ini spermatozoon, ovum dan kehamilan seluruhnya berasal dari suami-istri yang bersangkutan.
b.    Pembuahan di luar tubuh antara sperma donor dengan ovum istri. Sedang inplantasinya tetap pada rahim istri.
c.    Pembuahan yang berasal dari suami-istri hanyalah unsur spermatozoon dan kehamilan saja, sedang ovum berasal dari orang lain.
d.    Pembuahan yang spermatozoon dan ovum berasal dari suami-istri, tetapi kehamilannya dititipkan kepada wanita lain.

3.    Pandangan Islam terhadap bayi tabung
Dapat dikatakan bahwa, masalah bayi tabung adalah masalah yang sama sekali baru, belum dibicarakan oleh para ahli fiqih (fuqoha’) tedahulu. Lebih dari itu Al-qur’an dan Hadits pun tidak membahas secara emplisit masalah tersebut. Karena itu, dalam membahas dan menyelesaikan masalah bayi tabung ini diperlukan ijtihad kolektif, yang melibatkan dari para ahli dari berbagai disiplin ilmu, terutama ahli kedokteran, biologi dan ahli agama Islam. Dengan pengkajian multidisipliner itu diharapkan dapat ditetapkan hukumnya.

Dalam menetapkan hukum bayi tabung tedapat berbagai macam pendapat, sepertihalnya ditubuh golongan Muhammadiyah sendiri terdapat dua pendapat. Pendapat yang pertama mengatakan hukumnya mubah, dengan syarat sebagai berikut :
a.    Teknis pengambilan sperma dengan cara yang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
b.    Penempatan zygote sebaiknya dilakukan oleh dokter wanita.
c.    Resepien adalah istri sendiri. 

Perlu diketahui bahwa rahim wanita bukanlah seperti panci dapur, yang isinya bisa dipindahkan seenaknya dari yang satu ke yang lain. Akan tetapi ia akan memiliki andil dalam proses pembentukan janin yang mengkonsumsi zat makanan yang dibutuhkan dari darah wanita tersebut. Ibu adalah orang yang melahirkannya, dialah walidah (wanita yang melahirkan). Bagaimana mungkin seorang wanita melahirkan tetapi tidak menjadi ibunya.
Pendapat pertama ini merujuk kepada beberapa ayat Al-qur’an yang artinya sebagai berikut :
 "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu…-al-ayat-"  (Al-Nahl : 72).
 "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak … -al-ayat-" (Ali Imran : 14).
 "Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa." ( Al-Furqan : 54).

 "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. " (Al-Rum : 21). 

Pendapat yang pertama ini tidak menjelaskan secara eksplisit cara pengambilan dalil dari ayat-ayat di atas. Namun demikian, penggunaan ayat-ayat di atas dapat ditelusuri dengan memperhatikan ayat demi ayat dan menghubungkannya dengan masalah bayi tabung. Dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan pendapat beberapa ahli tafsir. Dengan memperhatikan ayat 72 surat Al-Nahl dapat dipahami, bahwa manusia secara nalurilah menghendaki keturunan atau anak cucu.  Bahkan manusia akan merasa bangga dengan keturunan yang diperolehnya, hal ini diisyaratkan oleh ayat 14 surat Ali-Imran dan ayat 54 surat Al-Furqan. 

Sebaliknya apabila pasangan suami istri tidak dapat memperoleh keturunan, maka pasangan itu akan merasa resah dan gelisah. Padahal perkawinan seperti diisyaratkan oleh ayat 21 surat Al-Rum di atas, diharapkan dapat menjadi tempat untuk memperoleh ketenteraman dan mencurahkan kasih sayang. Karena itu, usaha pasangan suami istri yang tidak atau belum dikaruniai anak perlu digiatkan, sampai keturunan itu dapat diperolehnya.

Sementara itu kelompok yang kedua berpendapat bahwa bayi tabung dalam berbagai bentuk dan sifatnya hukumnya haram. Diantara alasan yang digunakan oleh kelompok ini adalah bahwa pelaksanaan bayi tabung ternyata tidak ada petunjuk dari para Rasul. Kelihatannya alasan ini bertentangan dengan prinsip dan manhaj berijtihad yang telah ditetapkan oleh Muhammadiyah sendiri. Menurut prinsip yang ditetapkan oleh Muhammadiyah bahwa segala sesuatu yang bukan ibadah mahdhah tetapi masuk kekelompok al-umur al-dunyawiyat harus menggunakan akal yang cerdas dan fitri, dengan tetap merujuk kepada Al-qur’an dan Hadist.

Dari pendapat yang kedua ini kelihatannya argumennya sangat lemah, jadi lebih utama pendapat dari kelompok yang pertama. Kalau diperhatikan secara seksama, masalah bayi tabung ini lebih banyak berhubungan dengan masalah teknis atau proses memperoleh keturunan, bukan tentang proses hubungan laki-laki dan perempuan atau pernikahan. Selama proses pernikahan sudah dapat dibenarkan oleh syari’at Islam, maka suami istri boleh menempuh cara yang tidak lazim untuk memperoleh keturunan. Masalah ini termasuk masalah yang baru, karena itu pendekatan mashlahat perlu menjadi pertimbangan utama. Salah satu unsur mashlahat dalam kasus ini adalah untuk memperoleh keturunan. Hal ini termasuk kebutuhan yang termasuk peringkat dzurriyat.  Karena itu, sepanjang tidak berbenturan dengan nash yang qat’i baik wurud maupun dalalat-nya, bayi tabung dengan sperma dan ovum dari suami istri yang sah, hukumnya mubah. 

Sedangkan hukum memproses bayi tabung menurut pandangan Nahdhotul Ulama’ dapat ditafsili menjadi tiga, yakni :
a.    Apabila mani yang di tabung dan yang dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami istri, maka hukumnya haram.
b.    Apabila mani yang di tabung tersebut mani suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram.
c.    Apabila mani yang di tabung itu mani suami istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke delam rahim istrinya sendiri, maka hukumnya mubah (boleh).
Mani muhtaram ialah mani yang keluar / dikeluarkan dengan cara tidak dilarang oleh syara’. Sedang mani bukan muhtaram ialah selain yang tersebut di atas.  Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa boleh dan tidaknya melakukan bayi tabung adalah tergantung kepada teknisnya, jika tidak bertentangan dengan hukum Islam maka hukumnya mubah (boleh), dan jika bertentangan dengan hukum Islam maka hukumnya haram (tidak boleh).


Dari penjelasan yang telah dijabarkan di atas, maka ditariklah kesimpulan sebagai berikut:
1.    Bayi tabung adalah proses reproduksi dengan jalan mempertemukan atau mengawinkan ovum dan sperma di luar rahim, yakni ditempatkan dalam sebuah tabung.
2.    Proses pembuatan bayi tabung adalah dengan jalan mengeluarkan sperma dari pihak laki-laki, dan mengambil ovum dari pihak perempuan, kemudian dipertemukan dalam sebuah tabung, jika waktu yang dibutuhkan sudah tercukupi maka hasil dari tabung tersebut dimasukkan kedalam rahim perempuan.
3.    Hukum pembuatan bayi tabung menurut pandangan Islam ada dua macam, yakni : mubah dan haram. Mubah dan haramnya tergantung teknis pelaksanaannya.

4.    Referensi
Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi, Hukum-Hukum Wanita Dalam Fiqih Islam, Dina Utama, Semarang, 1995.
Al-Qurthubi, Al-Jami’liahkam Al-qur’an, Juz V, hal. 143. ( Sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos, Jakarta, 1995. ).
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemah, J-Art, Jakarta, 2005.
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos, Jakarta, 1995.
Lajnah Ta’lif  Wan Nash NU Jatim, Ahkamul Fuqoha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar NU ( 1926-1999 ), Diantama, Surabaya, 2004.
M. Ali hasan, Masail Fiqhiyah Al- Haditsah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Syaikh Ali Thantawi, Fatwa-Fatwa Populer Ali Thantawi, Era Intermedia, Solo, 1998.

AYAT (ARTI) TAMBAHAN
15.  "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (Al- Ahqaf : 15).


23.  "Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[850].

[850]  mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me